BIOGRAFI,KARYA,FILSAFAT
MULLA SADRA
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Efa Ida
Amaliyah,MA.
oleh :
Hasan Basri : 111369
Uzlifatil Jannah : 111376
Suprapto : 111378
Rizka Afif AM : 111384
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di awal abad
ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan sistimatika
pembahasan konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat Islam. Sebelum abad kesebelas terdapat empat aliran
filsafat yang bersifat mandiri, terpisah satu sama
lain dan masing-masing berpijak
pada teori dan gagasannya sendiri-sendiri. Tapi di awal abad ke sebelas empat aliran tersebut berhasil dipadukan dan
disatukan oleh Mulla Shadra sehingga melahirkan satu aliran dan sistem filsafat
baru yang dia sebut al-Hikmah al-Muta’aliyah.
Aliran
filsafat baru ini, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-kaidah
filsafat terdahulu, juga dapat
menjembatani antara pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana biografi dari Mulla Sadra?
- Apa karya Mulla Sadra?
- Bagaimana filsafat Mulla Sandra?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Mulla Shadra
(1571-1640 M.)
Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, yang
bergelar ‘Shadr al-Din’ dan lebih popular dengan sebutan Mulla Shadra atau
Shard al-Muta’alihin, dan dikalangan murid-murid serta pengikutnya disebut
‘Akhund’. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar tahun 979-80 H/ 1571-72 M dalam
sebuah keluarga yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga Qawam.
Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy salah seorang yang
berilmu dan saleh, dan dikatakan pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi
Fars. Secara sosial-politik, ia memiliki kekuasaan yang istimewa di kota
asalnya, Syiraz.[1]
Pendidikan
formal Mulla Shadra tampaknya telah mempersiapkan dirinya untuk mengemban tugas
yang maha besar ini. Mengikuti penjelasannya sendiri dalam Al-Asfhar
Al-Arba’ah, para sejarawan membagi biografi Mulla Shadra ke dalam tiga
periode: Periode pertama, pendidikan formalnya berlangsung di bawah
guru-guru terbaik pada zamannya. Tidak sama seperti filosof lainnya, dia
menerima pendidikan dari tradisi Syiah: fiqih Ja’fari, ilmu hadis, tafsir dan
syarah Al-Qur’an di bawah bimbingan Baha‘uddin al-‘amali (w. 1031 H/1622 M),
yang meletakkan dasar fiqih-baru Syi’ah. Selanjutnya ia belajar pada filosof
peripatetik Mir Fenderski (w. 1050 H/1641 M) namun gurunya yang utama adalah
teolog-filosof, Muhammad yang dikenal sebagai Mir Damad (1041 H/1631 M). Damad
nampaknya merupakan pemikir papan atas yang mempunyai orisinilitas dan juga
dijuluki Sang Guru Ketiga (setelah Aristotles dan Al-Farabi)[2] . Tampaknya, ketika Mulla Shadra ini muncul, filsafat yang ada, dan yang umumnya
diajarkan, adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn Sina dan para
pengikutnya. Pada abad ke 6 H/ke 12 M, Suhrawardi telah melakukan kritik
terhadap beberapa ajaran dasar parepatetisme. Ialah yang meletakkan
dasar-dasar bagai filsafat Illuminasionis yang bersifat mistis (Hikmat
al-Isyraq).
Setelah
menyelesaikan pendidikan formalnya, Mulla Shadra terpaksa meninggalkan Isfahan,
karena kritik sengit terhadap pandangan-pandangannya dari Syi’ah dogmatis.
Dalam pereode kedua, dia menarik diri dari khalayak dan melakukan uzlah
di sebuah desa kecil dekat Qum. Selama pereode ini, pengetahuan yang
diperolehnya mengalami kristalisasi yang semakin utuh, serta menemukan tempat
dalam mengasah kreativitasnya. Beberapa bagian dari Al-Asfar al-Arba’ah
disusunnya pada pereode ini. Dalam pereode ketiga, dia kembali mengajar
di Syiraz, dan menolak tawaran untuk mengajar dan menduduki jabatan di Isfahan.
Semua karya pentingnya dia hasilkan dalam pereode ini. Dia tidak berhenti untuk
menghidupkan semangat kontemplatifnya dan juga melakukan praktek asketis
-sebagaimana disebutkan dalam karyanya- sehingga beberapa argument filosofisnya
dia peroleh melalui pengalaman-pengalaman visionernya (mukasyafah)[3]
Dengan
demikian, sistem pemikiran Mulla Shadra yang khas tumbuh, yang kelihatannya
benar-benar berbeda dari situasi intelektual dan spiritual pada masanya.
Kesalehannya terhadap agama dapat ditunjukkan antara lain oleh kenyataan bahwa
ia dikatakan meninggal di Basrah pada 1050 H/1641 M saat pulang menunaikan
ibadah haji yang ketujuh kalinya[4]
B. Karya Mulla Sadra
Mulla Shadra
menulis sekitar 50 buku, 32 diantaranya berbentuk risalah. Yang terbesar
sekaligus merupakan magnum opus-nya adalah al-Hikmah al-Muta’aliyah
fi al-Asrar al-Aqliyah al-Arba’ah (Hikmah Agung tentang Empat Perjalanan
Akal). Karya ini pertama kali terbit tahun 1873 M. terdiri dari 4 jilid besar.
Bagian I membahas tentang soal ontologi, baian II menguraikan substansi dan
aksidensi, bagian III menjelaskan tentang Tuhan dan sifat-sifatnya, bagian IV
menguraikan manusia dan nasibnya. Karya yang lain diantaranya, al-Hikmah
al-Arsyiyah (tentang Tuhan dan eskatologi), Risalah fi ittihad al-aqil
wa al-Ma’qul (soal epistemologi), Ta’liqat ala Syarh Hikmah al-Isyraq (komentar
terhadap filsafat iluminatif), Ta’liqat ala Ilahiyyat Kitab al-Syifa’I
(komentar terhadap kitab Asyifa’ Ibnu Sina), Risalah al-Mazaj (tentang
psikologi), Mafatih al-Ghaib (tentang doktrin gnostik)[5]
C. Filsafat Mulla Sadra
1.
Kehakikian
Eksistensi (al-ashâlah al-wujud)
Sesudah
Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah yang sama, memunculkan
prestasi lain yang juga bersifat fundamental seperti prestasi sebelumnya.
Seperti unculnya satu jenis filsafat Eksistensialime Islam, yang secara resmi
di sebut dengan ashalat al- wujud. Pendiri mazhab filsafat ini adalah
Shadr al- Dien Syirazi (Mulla Sadra) yang menyebut metodologi pemikirannya metafilsafat
(al- Hikmat al-Muta’aliyah)[6]
Maksud (al-ashâlah
al-wujud) dalam filsafat Mulla Shadra adalah bahwa setiap wujud kontingen (mumkin
al-wujud) terjadi atas dua modus (pola perwujudan): eksistensi dan kuiditas
(esensi). Dari kedua modus itu, yang benar-benar hakiki (real) secara
mendasar adalah eksistensi, sedangkan kuaditas (esensi ) tidak lebih dari
“penampakan” (apperiance) belaka[7]
Para filosof
muslim sebelum Mulla Shadra telah membahas persoalan ini. Menurut Ibnu Sina,
eksistensi mendahului esensi . Eksistensi bersifat primer dan merupakan
satu-satunya hakikat atau realitas yang dimiliki Tuhan, sedangkan esensi
dan sifat-sifatnya bersifat skunder. Namun bagi Ibnu Sina, eksistensi dan
esensi ini, keduanya merupakan sama-sama realitas yang nyata. Sejalan
dengan itu, menurut Ibnu Arabi, eksistensi mendahului esensi . Eksistensi
adalah realitas yang sesungguhnya dan realitas itu hanya satu yaitu Tuhan.
Sedangkan esensi tidak lain adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuannya[8]
Sebaliknya,
menurut Suhrawardi esensi lebih fundamental dari esistensi, sebab
eksistensi hanya ada dalam pikiran manusia. Yang merupakan realitas yang sesungguhnya
adalah esensi yang bagi Suhrawardi tidak lain dari pada bentuk-bentuk
cahaya dari maha cahaya, Tuhan. Cahaya itu hanya satu sedangkan benda-benda
yang beranekaragam adalah gardasi intensitasnya atau kebenderangannya.
Mulla Shadra
pada mulanya, mengikuti pendapat Suhrawardi diatas, tetapi kemudian membalik
ajaran tersebut dengan mengambil pandangan Ibnu Arabi tentang prioritas
eksistensi terhadap esensi, namun menolak Ibnu Arabi tetang wahdat al-wujud,
ketunggalan wujud. Bagi Sadra benda-benda disekitar kita, semesta ini, bukan
hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi
Tuhan. Namun, eksistensi yang merupakan realitas tersebut tidak pernah bisa
ditangkap oleh rasio, karena rasio hanya mampun menangkap esensi atau
gagasan umum. Karena itu, ada perbedaan mendasar antara esensi dengan
eksistensi. Bagi Shadra, eksistensi dalah realitas objektif di luar pikiran,
sedang esensi adalah gambaran umum tentang realitas atau benda yang ada
dalam pikiran. Namun demikian, gambaran umum tersebut juga tidak bisa dianggap
sebagai cerminan hakikat wujud, karena transformasinya ke dalam konsep mental
yang abstrak pasti mengandung kesalahan[9]
Dalam kaitan
ini perlu dikemukakan bahwa di dalam pengalamannya terhadap wujud, Mulla Shadra
telah mempersatukan secara sempurna kedua aspek kehidupan spiritual yaitu
pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung. Bagi
mereka yang sudah terpadu dalam dirinya antara pemikiran analitis-rasional dan
pengalaman intuitif secara langsung, seperti halya Mulla Sadra, bisa merasakan
bahwa sesungguhnya kenikmatan dan kebahagiaan yang bersifat spiritual pada
dasarnya adalah juga kenikmatan dan kebahagiaan intelektual. Dengan kata lain,
bisa dinyatakan bahwa sesungguhnya kebenaran yang diperoleh melalui pengelaman
mistis adalah kebenaran yang bersifat intelektual, dan pengalaman mistis
sebenarnya adalah pengalaman yang bersifat kognitif. Pengelaman yang bersifat
intuitif sama sekali tidak bertentagan dengan penalaran, bahkan ia dipandang
sebagai bentuk penalaran yang lebih tinggi, lebih positif dan konstruktif,
dibandingkan dengan penalaran formal[10]
Ringkasnya,
kebahagiaan spiritual dan intelektual akan bisa dirasakan atau dialami secara
sekaligus jika seseorang mampu memberikan pembuktian-pembuktian yang bersifat
rasional terhadap pengalaman-pengalaman spiritual dan mistisnya. Semakin luas
argumen-argumen rasional yang diberikan, maka kualitas spiritualpun akan
semakin tinggi. Sebab apa yang diakui sebagai pengalaman spiritual, sesungguhnya
akan menjadi semakin tinggi kualitasnya jika intelek mengetahui secara persis
mengenai seluk-beluk semacam itu. Semua itu hanya bisa dialami melalui
keseluruhan diri manusia secara utuh, dan hanya manusia seutuhnya yang bisa
mengalaminya, yaitu ketika pikiran telah terintegrasi ke dalam keseluruhan diri
manusia, yang terpusat pada kalbu[11]
2.
Gradasi
Wujud (tasykik al-wujud)
Mulla Shadra
berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai
eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun demikian Shadra tidak
menyimpulkan sebagai wahdat al-wujud, tetapi mengajukan tasykik
al-wujud sebagai solusinya, yakni eksistensi itu mempunyai gradasi yang
kontinu. Jelasnya, menurut Sadra, dari ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat
gradasi “ada-ada nisbi” yang tidak terhingga. Dengan kata lain, realitas ini
terbentang dari kutub Tiada Mutlak sampai kutub Ada Mutlak dengan perbedaan
tingkat kualitas dan intensitasya. Inilah pandangan kesatuan realitas versi
Mulla Shadrayang disebut “Hikmah al-Muta’aliyah”. Menurut Arhamedi
Mazhar, pandangan ini merupakan sintesa besar antara teologi, filsafat dan
mistik[12]
Dalam
perspektif al-Hikmah al-Muta’aliyah, wujud merupakan suatu realitas
tunggal yang dalam ketunggalannya memiliki tingkatan dan bergradasi. Gagasan
ini berlawanan dengan filsafat peripatetik yang beranggapan bahwa wujud-wujud
di alam secara esensial berbeda satu dengan lainnya dan tidak memiliki unsur
kesamaan. Yang ada di alam adalah kejamakan maujud bukan kesatuan wujud.
Perspektif ini berbeda dengan konsep para sufi dan arif tentang kesatuan wujud
yang individual (wahdah al-syakhsh al-wujud). Mereka menolak secara
mutlak ide kejamakan wujud.
Gradasi
wujud dalam filsafat Mulla Shadra ditopang oleh dua unsur, yakni kesatuan wujud
dan kejamakan wujud. Sementara gradasi cahaya dalam filsafat Suhrawardi hanya
ditopang oleh satu unsur, yakni kejamakan cahaya. Cahaya tidaklah tunggal,
melainkan jamak dan bergradasi. Gradasi cahaya bersifat vertikal sebagaimana
dalam gradasi wujud.
3.
Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah)
Teori Gerak
Subtansial (al-harakah al-jauhariyah), adalah sumbangan orsinil Mulla
Shadraterhadap filsafat Islam. ajaran ini merupakan uraian lebih lanjut dari
pandangan Sadra bahwa gradasi wujud tidak bersifat statis tetapi dinamis,
bergerak dari eksistensi tingkat rendah menuju eksistensi tingakat tinggi.
Mulla Shadramemperlihatkan bahwa berdasarkan prinsip-prinsip Aristotalion
tentang materi dan bentuk, harus diterima bahwa substansi alam semesta
senantiasa bergerak, tidak pernah terdapat kekonstan sesaat dan keseragaman
bentuk dalam substansi alam. Aksiden-aksiden (yaitu sembilan kategori yang
lain), sebagai fungsi dan substansi, juga berada dalam gerak. Menurut Mulla
Shadra, alam sama dengan gerak, dan gerak sama dengan penciptaan dan pemusnahan
yang tidak henti-henti dan berjalan terus menerus[13]
Kontribusi
Mulla Shadra dalam gerakan substansial (al-Harakah al- Jawhariyah) melengkapi
para filosof sebelumnya, diman mereka berepndapat bahwa gerakan hanya terjadi
pada empat kategori aksiden; kuantitas (kammiyat), kualitas (kaifiyyat),
posisis (wadh’) dan tempat (‘ayn). Dengan kata lain, substansi
tidak berubah tetapi hanya empat kategori akseden yang berubah. Karena kalau
substansi berubah kita tidak dapat menetapkan judgment tentangnya. Begitu kita
mengeluarkan judgment, ia sudah berubah menjadi yang lain[14]
Mulla
Shadraberpendapat bahwa disamping perubahan pada empat kategori aksiden, gerak
juga terjadi pada substansi. Kita melihat bahwa dalam dunia eksternal perubahan
benda material dan keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Buah apel
kembali dari hijau tua ke hijau muda, kemudian kuning, lalu merah. Ukuran rasa,
berat juga selalu mengalami perubahan. Karena eksistensi aksiden bergantung
pada eksistensi substansi, maka perubahan aksiden akan menyebabkan perubahan
pada substansi juga. Semua benda material bergerak. Gerakan ini berasal dari
penggerak pertama yang immaterial, menuju penyempurnaan yang non-material dan
berkembang menjadi sesuatu non-material. Dalam hubungna inilah Mulla Shadra
mempertahankan sifat huduts dari dunia fisik, sifat tidak permanen dari esensi
materi, dan waktu sebagai dimensi materi keempat; sebagai suaut ukuran
kuantitas gerak. Sebab mendasar yang menjadikan akseden dalam bergerak adalah
nilai hudutsnya wujud dan waktu yang menjadikannya sebagai tempat kebaruannya[15]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Di dalam
bangunan Filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah Shadra, tergambar jelas
Mulla Shadrā melakukan harmonisasi semua elemen filsafat sebelumnya sehingga
membentuk warna baru yang masing-masing kesatuan saling terkait dan mendukung
satu sama lain. Kita kemudian dapat menemukan posisi filsafat al-Hikmah
al-Muta’āliyyah yang jelas-jelas memunculkan sebuah warna baru diantara
aliran filsafat yang ada.
Karakteristik
al-hikmah al-muta’aliyah yang bersifat sintesis merupakan hasil kombinasi dan
harmonisasi dari ajaran-ajaran wahyu, ucapan-ucapan para Imam,
kebenaran-kebenaran yang diperoleh melalui penghayatan spiritual dan iluminasi
intelektual, serta tuntutan-tuntutan logika dan pembuktian rasional. Sintesis
dan harmonisasi ini bertujuan untuk memadukan pengetahuan yang diperoleh
melalui sarana Sufisme atau ’irfan, Iluminasionisme atau isyraqiyyah,
filsafat rasional atau yang identik dengan Peripatetik atau masysya’iyyah, dan
ilmu-ilmu keagamaan dalam arti sempit, termasuk kalam. Dengan demikian,
kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari, dan harus dilihat dalam konteks
aliran-aliran pemikiran Islam yang mendahuluinya.
Secara
epistemologis, hikmah muta’aliyah didasarkan pada tiga prinsip, yaitu:
iluminasi intelektual ( dzawq atau isyraq ), pembuktian rasional (
‘aql atau istidlal ), dan agama ( syari’ atau wahyu ). Hikmah
Muta’aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen
rasional (akal), penyingkapan (mukasyafah), al-Quran dan hadis Ahlulbait As,
karenanya dikatakan paling tingginya hikmah.
DAFTAR PUSTAKA
Nur, Syaifan. 2001. Filsafat
Wujud Mulla Shadra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muntahari, Murtdha. 2002. Filsafat
Hikmah: Pengantar Pemikiran Sadra, Bandung: Mizan.
Sholeh, A. Khodhori. 2004. Wacana
Baru Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ha’iri yazdi, Mehdi 1994. Ilmu
Hudluri, prinsip-prinsip Epistimologi dalam Filasafat Islam, terj. Ahsin
Muhammad Bandung : Mizan.
Nashr, Husain. 1986. Tiga Pemikir
Islam, Bandung: Risalah.
Rahman, Fazlur. 2000. Filsafat
Shadra, terj. Munir Muin, Bandung: Pustaka
Riadi, Haris Hikmah al-Israqiyah:
Mentelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi Transenden Mulla Sadra., (www.uinsuska.com. Diakses
pada tanggal 4 Juni 2010)
Husein Afandi al-Jasr al-Thaablusy,
al-Husun al-Hamidiyah, li al-Muhafadzah ‘ala al-Aqaid al-Islamiyah,(ed) Ridlwan
Muhammad Ridlwan, Surabaya : Sa’id Ibn Nabhan Wa Auladuh, t.tj
[4] A. Khodhori
Sholeh, Wacana Baru Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hlm. 158
[6] Mehdi ha’iri
yazdi, Ilmu Hudluri, prinsip-prinsip Epistimologi dalam Filasafat Islam, terj.
Ahsin Muhammad (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 51
[13] Haris Riadi,
Hikmah al-Israqiyah: Mentelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi Transenden
Mulla Sadra., (www.uinsuska.com. Diakses
pada tanggal 4 Juni 2010)
[15] Husein
Afandi al-Jasr al-Thaablusy, al-Husun al-Hamidiyah, li al-Muhafadzah ‘ala
al-Aqaid al-Islamiyah,(ed) Ridlwan Muhammad Ridlwan (Surabaya : Sa’id Ibn
Nabhan Wa Auladuh, t.tj), hlm.63.
hai sob salam kenal ya..berbagi link yuk
BalasHapusbermanfaat, izin copas yaa :)
BalasHapus