BIOGRAFI,
KARYA, FILSAFAT
AL-
GHAZALI DAN IBNU SINA
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Ghazali
1. Biografi Al
Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
Abu Hamid Al-Ghazali. Beliau di lahirkan di Thus, suatu kota di Khurasan pada
tahun 450 M. Ayahnya seorang pekerja pembuat pakaian dari bulu (wol) dan
menjualnya di pasar. Setelah ayahnya meninggal, Al-Ghazali di asuh seorang ahli
tasawuf.
Pada masa kecilnya
ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar
Rasikani, kemudian belajar pada Imam Abi Nasar Al Ismaili di negeri Jurjan.
Setelah mempelajari beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur
dan belajar pada Imam Al Haromain. Di sinilah ia mulai kelihatan tanda-tanda
ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan
pokok pada masa itu seperti ilmu Mantiq (logika), falsafah, dan fiqh madzhab
Syafi’i. Karena kecerdasanya itulah Imam Al Haromain mengatakan bahwa Al
Ghazali itu adalah “Lautan Tak Bertepi…..”
Setelah Imam Al
Haromain wafat, Al Ghazali pergi ke Al Azhar untuk berkunjung kepada menteri Nizam
al Muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia di sambut dengan penuh
kehormatan sebagai seorang ulama’ besar. Kemudian dipertemukan dengan para alim
ulama’ dan para ilmuan. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki Al
Ghazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik Al Ghazali pada tahun
848 H./1091 M. Sebagai guru besar (profesor) pada perguruan tinggi Nizammiyah
yang berada di kota Baghdad. Al Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi selama
empat tahun. Ia mendapatkan perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik
yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai ia menjauhkan diri
dari keramaian.
Pada tahun 488 H.
Al Ghazali pergi ke makkah untuk menunaikan kewajiban rukun islam yang ke lima.
Setelah selesai mengerjakan haji, ia terus pergi ke Syria (Syam) untuk
mengunjungi Baitul Maqdis, kemudian melanjutkan perjalananya ke Damaskus dan
menetap untuk beberapa lama. Disini beribadah di masjid Al Umawi pada
suatu sudut hingga terkenal sampai sekarang dengan nama Al Ghazaliyah. Pada
saat itulah ia sempat mengarang sebuah kitab yang sampai kini kitab tersebut
sangat terkenal yaitu Ihya’ Ulumud Din. Al Ghazali tinggal di Damaskus
itu kurang lebih selama 10 tahun, di mana ia hidup dengan amat sederhana, berpakaian
seadanya, menyedikitkan makan minum, mengunjungi masjid-masjid, memperbanyak
ibadah atau berbuat yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan
berkhalwat.
Setelah penulisan Ihya
Ulumud Din selesai, ia kembali ke Baghdad, kemudian mengadakan majlis
pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya itu. Tetapi karena ada
desakan dari penguasa yaitu Muhammad penguasa waktu itu. Al Ghazali di minta
kembali ke Naisabur dan mengajar di perguruan Nizammiyah. Pekerjaan ini hanya
berlangsung dua tahun, untuk akhirnya kembali ke kampung asalnya, Thus. Di
kampungnya Al Ghazali mendirikan sebuah sekolah yang berada di samping rumahnya,
untuk belejar para fuqaha’ dan para mutashwwinfin (ahli tasawuf).
Ia membagi waktunya guna membaca Al qur’an, mengadakan pertemuan dengan para
fuqaha’ dan ahli tasawuf, memberikan pelajaran bagi orang yang ingin mengambilnya
dan memperbanyak ibadah (shalat). Di kota Thus inilah beliau akhirnya meninggal
pada hari senin tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H./1111 M[1].
2. Hasil Karyanya
Karangan Al Ghazali berjumlah kurang lebih 100 buah.
Karangan-karanganya meliputi berbagai macam lapangan ilmu pengetahuan, seperti
ilmu kalam(theology Islam), fiqh(hukum islam), tasawuf, akhlak, dan
autobiografi. Sebagian besar dari karanganya adalah berbahasa Arab, dan
sebagian lagi berbahasa Parsi.
Di antara karangan
yang banyak itu ada beberapa kitab yang kurang mendapat perhatian di kalangan
ulama’ Indonesia. Namun sangat terkenal di negeri barat. Yaitu di antaranya
buku yang menyebabkan polemik di antara ahli filsafat, buku tersebut adalah Maqashidul
Falasifah (tujuan para ahli filsafat) dan kitab Tahafut Al Falasifah (keberantakan
para filosof)
Kitabnya yang
terkenal yaitu Ihya Ulumuddin, yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu
agama, dan yang di karangnya selama beberapa tahun dalam keadaan
berpindah-pindah antara Syam, Yerussalem, Hijaz, dan Yus, dan yang berisi
paduan indah antara fiqh, tasawuf dan filsafat, bukan saja terkenal di kalangan
kaum muslimin, tetapi juga di dunia barat dan luar Islam.
Bukunya yang lain
yaitu Al Munqidz min Ad Dhalal (penyelamatan dan kesesatan) berisi
sejarah pekembanagn alam pikiran dan mencerminkan sikapnya yang terakhir
terhadap beberapa ilmu,serta jalan untuk mencapai Tuhan. Di antara
penulis-penulis modern banyak yang mengikuti jejak Al Ghazali dalam menuliskan
autobiografinya.
Di samping para
penulis barat tersebut juga ada beberapa yang menerjemahkan beberapa karangan
Al Ghazali yang terkenal ke dalam berbagai bahasa Eropa, yaitu seperti :
a1. Carra De Vaux menterjemahkan buku Tahafut Al Falasifah.
b2. De Boer dan Asin Palacois masing-masing menterjemahkan beberapa
bagian dari buku Tahafut Al Falasifah.
34. H. Bauer, menterjemahkan Qawaid Al ‘Aqaid, dalam bukunya Die
Dogmatik Al Ghazali’s
d5. Barbier de Minard, menterjemahkan, Al Munqidzu min Ad Dhalal.
e6. W.H.T. Craidner, London, menterjemahkan buku Misykat Al Anwar.
f) D.B. Mac Donald, menterjemahkan beberepa pasal dari Ihya
Ulumuddin[2].
3. Ajaran Al Ghazali
a. Tasawuf
Al Ghazali di
kenal sebagai orang yang haus akan segala ilmu pengetahuan. Ia berusaha sekeras
mungkin agar dapat mencapai suatu keyakinan dan mengetahui hakikat segala
sesuatu. Sehingga senantiasa ia bersikap kritis dan kadang ia tidak percaya terhadap
adanya kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi dan
pengetahuan hakikat. Namun pada kedua pengetahuan inipun ia akhirnya tidak
percaya(skeptis)[3].
Dalam keadaan
seperti ini, maka muncul pertanyaan, bagaimana corak tasawuf Al Ghazali? Ketika
itu tasawuf bersikap negatif dan asing dari semangat dan jiwa Islam. Kering
dari ajaran Islam. Hal ini dapat di lihat pada aliran-aliran tasawuf ekstrim.
Inilah yang menimbulkan reaksi dan kemarahan aliran islam sunni.
Maka datanglah Al
Ghazali untuk memasukkan tasawuf dalam pangkuan Islam Sunni. Ia masuki
kehidupan tasawuf, tetapi ia tidak melibatkan diri dalam aliran tasawuf
inkarnasi dan taswuf pantheisme, dan buku-buku yang di karangnya juga tidak
pula keluar dari jalan (sunnah) Islam yang benar[4].
b. Filsafat Metafisika
Al Ghazali
menghantam pendapat-pendapat filsafat Yunani, di antaranya juga Ibnu Sina,
dalam dua puluh masalah. Di antaranya yang terpenting adalah:
11. Al
Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan
dunia. Di sini Al Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada
menjadi ada sebab di ciptakan oleh Tuhan.
22. Al
Ghazali menyerang kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya ke abadian alam.
Ia berpendapat bahwa soal keabadian alam itu terserah kepada Tuhan semata.
Mungkin saja alam itu terus-menerus tanpa akhir andaikata Tuhan menghendakinya.
Akan tetapi, bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam di sebabkan
oleh dirinya sendiri di luar iradat Tuhan.
33. Al
Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal
yang besar saja, tetapi iadak mengetahui soal-soal yang kecil.
44.
Al
Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan
kepastian hukum sebab akibat semata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum
itu. Bagi Al Ghazali segala peristiwa yang serupa dengan hukum sebab dan akibat itu hanyalah kebiasaan
(adat) semata, dan bukan hukum kepastian[5].
c. Etika
Filsafat etika Al
Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam bukunya Ihya
Ulumudin. Dengan kata lain, filsafat etika Al Ghazali adalah teori
tasawufnya
Dalam Ihya Ulumuddin
itu Al Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadah dari tasawuf dengan mendalam
sekali. Misalnya dalam mengupas soal At Thaharah ia tidak hanya mengupas
kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersiahn rohani. Dalam penjelasannya
yang panjang lebar tentang shalat, puasa, dan haji kita dapat menyimpulkan
bahwa bagi Al Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari
segala jalan pembersihan rohani[6].
d. Konsep Iman dan Kufur
Al Ghazali dalam
pemikiranya, menentang ilmu kalam dan para ulama’ kalam, meski ia sendriri
tetap menjadi seorang tokoh ilmu kalam. Sebagaimana penyeranganya terhadap argumen-argumen
para filosof, tetapi tetap ia menjadi tokoh filosof. Kritikan Al Ghazali kepada
ulama’ kalam hanya ditujukan kepada tingkah laku mereka dan kejauhan hati
mereka dari agama yang di pertahankannya oleh mereka melalui argumentasi.
Dalam memperkuat iman orang-orang biasa, menurut Al Ghazali tidak
di perlukan argumen-argumen pemikiran yang dalam. Ia menyayangkan adanya
pertentangan pendapat dalam beberapa persoalan dan tuduhan telah menjadi kafir
yang di keluarkan oleh pengikut beberapa aliran terhadap orang lain yang tidak
sependapat dengan mereka, karena dirasa perlu untuk memberikan batas pemisah
antara iman dengan kufur dan atau antara islam dengan non islam[7].
B.Ibnu
Sina
1.
Biografi Ibnu Sina
Abu Ali al- Husayn bin Abdullah bin Sina (980-1037) atau yang
secara umum di kenal dengan nama Ibnu Sina atau Avicenna (bahasa latin yang
terdistorsi dari bahasa Hebrew Aven Sina) adalah seorang ensiklopedis, filosof,
fisiologis, dokter, ahli matematika, astronomer, dan sastrawan. Bahkan , di
bebeapa tempat ia lebih terkenal sebagai sastrawan dari pada seorang filosof.
Dia adalah ilmuan dan filosof muslim yang sangat terkenal dan salah seorang
ilmuan dan filosof terbesar sepanjang masa.
Dia lahir di
Afsanah, Bukhara, Transoxiana (Persia Utara). Dia mengajar kedokteran dan
filsafat di Isfahan, kemudian tinggal di Teheran. Dia adalah seorang dokter
ternama, di mana mulai abad ke-12 sampai ke-17, bukunya dalam bidang
pengobatan, Qanun fi ath-Thiibb, menjadi rujukan di berbagai Universitas di
Eropa[8].
Ibnu Sina dibesarkan di daerah kelahirannya. Ia belajar Al-qur’an
dengan menghafalnya dan belajar ilmu- ilmu agama serta ilmu- ilmu pengetahuan
umum, seperti; astronomi, matematika, fisika, logika, kedokteran dan ilmu
metafisika.
Ketika umur beliau
belum mencapai 16 tahun sudah menguasai ilmu kedokteran, sehingga banyak orang
yang datang kepadanya untuk berguru. Kepandainnya tidak hanya dalam teori saja,
melainkan segi praktikpun ia menguasai[9].
Pada waktu usianya
mencapai 22 tahun, ayahnya meninggal dunia, kemudian ia meninggalkan negeri
Bukhara untuk menuju ke Jurjan, dan dari sini ia pergi ke Chawarazm. Di Jurjan
ia mengajar dan mengarang, tetapi karena kekacauan politik, ia tidak lama
tinggal disitu. Kemudian ia hidupnya berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat yang lain, hingga sampai di Hamadan. Ditempat ini beliau di jadikan
menteri oleh Syamsuddaulah untuk beberapa kali, meskipun disini ia
pernah di penjarakan beberapa bulan, kemudian ia perrgi ke Isfahan, di bawah
penguasa Ala Addaulah, ia disambut baik olehnya. Namun pada akhir kehidupannya
ia kembali ke Hamadan, ketika Ala Addaulah merebut negeri Hamadan. Ia meninggal
pada tahun 428 H/ 1037 M. Pada usia 57 tahun.
2.Hasil
Karyanya
Ibnu Sina meskipun
disibukkan oleh kegiatan politik namun karena kecerdasan yang dimilikinya,
menyebabkan ia mampu menulis beberapa buku. Karena ia pandai mengatur waktu
dalam aktifitas politik, mengajar dan mengarang. Dalam tulis menulis tidak kurang dari 50 lembar karya
yang dapat disajikan. Ia sangat berjasa bagi para ilmuan, dengan karya- karyanya
yang berguna.
Adapun karangan-
karangan Ibnu Sina yang terkenal adalah;
1.
As-Syifa, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar, dan
terdiri dari empat bagian yaitu logika, fisika, matematika dan metafisika (ketuhanan).
Buku tersebut mempunyai beberapa naskah yang tersebar di berbagai perpustakaan
barat dan timur. Bagian ketuhanan dan fisika pernah dicetak dengan cetakan batu
di Taheran. Pada tahun 1956 Lembaga keilmuan Cekoslowakia di Praha menerbitkan
pasal ke enam dari bagian fisika yang khusus mengenai ilmu jiwa, dengan
terjemahannya ke dalam bahasa prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch. Bagian
logika di terbitkan di Kairo pada tahun 1954, dengan nama Al Burhan,
dibawah asuhan Dr. Abdurrahman Badawi.
2.
An- Najat ,buku ini
merupakan ringkasan buku As Syifa, dan pernah di terbitkan bersama-sama
dengan buku Al- Qanun dalam iilmu kedokteran pada tahun 1593 M. Di Roma
pada tahun 1331 H di Messir.
3.
Al- Syarat Wat- Tanbihat,
buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah di terbitkan di
Leiden pada tahun 1892, dan sebagiannya diterjemahkan kedalam bahasa prancis.
Kemudian diterbitkan lagi di Kairo pada tahun
1947 di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia.
4.
Al-
Hikmat Al- Masyriqiyyah, buku ini
banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan naskah-
naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi
buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi menurut Carlose Nallino, berisi filsafat
timur sebagai imbangan dari filsafat barat.
5.
Al Qanun, atau Canon of Medicine, menurut penyebutan orang- orang barat.
Buku ini pernah di terjemahkan ke dalam bahasa latin dan pernah menjadi buku
standard untuk Universitas- Universitas Eropa, sampai akhir abad ke 17 M. Buku
tersebut pernah di terbitkan di Roma tahun 1593M. Dan di India tahun 1323H.
3. Filsafat ajaranya
a) Tentang Wujud
Ibnu Sina tentang wujud, sebagaimana para filosof muslim terdahulu.
Dari Tuhanlah kemaujudan yang mesti, mengalir intelegensi pertama sendirian
karena hanya dari yang tunggal.
Kami mengatakan
bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud tunggal, secara mutlak,
sedang segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena
ketunggalanya, maka apakah Tuhan itu di nyatakan bahwa ia ada, bukanlah dua
unsur dalam satu wujud tetapi satu unsure atomic dalam wujud yang tunggal.
Sesungguhnya
menurut Ibnu Sina, Tuhan menciptakan sesuatu karena adanya keperluan yang
rasional ini, Ibnu Sina menjelaskan pra-pengetahuan Tuhan tentang semua
kejadian, seperti apa yang kita lihat dalam pembahasanya tentang Tuhan. Dunia,
secara keseluruhan ada bukan hanya karena kebetulan, tetapi di berikan oleh
Tuhan, ia di perlukan, dan keperluan ini diturunkan dari Tuhan.
b) Teori Fisika
Kajian yang di
kemukakan Ibnu Sina dalam masalah ini adalah bersifat teori, dan obyeknya yaitu
benda yang wujud, dimana ia terdapat dalam perubahan, diam , dan bergerak. Ilmu
Fisika mempunyai beberapa dasar yang hanya bisa di ketahui oleh orang yang
mendalami ilmu ketuhanan. Sebagai dasar-dasar itu adalah:
1.
Benda
(maddah), shurah (form), dan tiada (adam)
2.
Gerak
dan diam
3.
Waktu
atau masa
4.
Tempat
dan kekosongan
5.
Terbatas
dan tidak terrbatas
a)Benda, surah, dan tiada
Setiap benda yang
tersusun mempunyai tiga unsure, yaitu bendanya surah dan tiada. Demikian
menurut Aristoteles. Sebelum terjadinya surah, meskipun benda itu satu
jumlahnya, namun ia mengandung dua unsure yang berbeda. Pertama, adalah unsure
yang tetap. Kedua, adalah yang terjadi akibat adanya perubahan.
Teori ini dari
Aristoteles yang di transfer Ibnu Sina dengan mengatakan bahwa benda alam
terdiri dari amaddah ( bendanya). Sebagai tempat, dan dari surah,
sebagai perkara yang bertempat padanya. Hubungan benda dengan surat sama dengan
hubungan perak dengan patung. Jadi benda alam mempunyai tambahan (perkara yang
mengikutinya) yaitu a’rah (sifat-sifat), seperti gerak, diam dan lain-lain.
Bagi tiada
tidak semua ia menjadi sumber bagi yang ada, melaikan hanya tiada yang
di sertai wujud alam potensi ayau dengan kata lain hanya tiada yang
mungkin wujud. Sebagai contoh:” adanya pisau pada wapper (selongsong) dan pada
besi tua”. Tetapi tidak ada pada kedua perkara tersebut tidak sama, sebab tidak
adanya pisau tidak bisa menjadi sumber adanya pisau karena wujud pisau karena
potensi (bahan) sudah terdapat pada besi tua, dan kemudian agar menjadi pisau
benar-benar, sebagai aktualitas, tetapi wujud pisau sebagai potensi tidak
terdapat sama sekali pada wapper. Karena tiap-tiap benda yang memuat tiada yang
menjadi sumber jadi wujud terhadap sesuatu tersebut hule bagi sesuatu
itu.
b) Gerak dan Diam
Gerak adalah
pergantian keadaan yang menetap pada benda sedikit demi sedikit, dengan menuju
kepada suatu arah tertentu. Demikian kata ibnu sina. Ia menambahkan bahwa
tiap-tiap gerak terdapat pada perkara yang bisa bertambah atau berkurang,
sedangkan jauhar ( benda-benda kecil/atom ). Dengan demikian kejadian jauhar
dan kemusnahanya tidak merupakan gerak, melainkan sesuatu yang terjadi dengan
sekaligus. Atau bisa dikatakan perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain
adalah gerak. Begitu pula perpindahan dari putih ke hitam dan bertambah atau
berkurangnya sesuatu bentuk juga dikatakan gerak.
Tentang diam, maka
dikatakan oleh Ibnu Sina sebagai tidak adanya gerak dari suatu yang bisa
bergerak. Jadi perlawanan antara diam dengan gerak sama dengan perlawanan
antara tiada dengan nyata.
c) zaman
Zaman adalah
ukuran (kadar) gerak yang bundar, dari segi maju mundurnya. Apabila zaman itu
adalah ukuran gerak, sedang zaman itu bukan baru ( dari segi zaman ) maka
artinya gerak itu bukan hal yang baru.
Zaman tidak
dijadikan dalam proses waktu, melainkan kejadian tersebut adalah ibda’ (
ciptaan ), dimana penciptaanya tidak mendahuluinya dari segi singkatan dan
martabat. Kalau sekiranya zaman itu mempunyai sumber ( asal) maka berarti zaman
itu terjadi sesudah ada zaman lain yang mendahuluinya. Sebab pengertian baru
dalam zaman adalah bahwa zaman itu asalnya tidak ada kemudian menjadi ada. Jadi
sekali lagi apabila zaman itu ukuran gerak dan zaman itu bukan baru, maka gerak
itupun bukan hal yang baru.
d) dan e) Tempat, kekosongan, terbatas, dan tidak terbatas.
Tempat adalah sesuatu yang didalamnya terdapat suatu
benda. Jadi tempat itu meliputi benda itu, memuatnya, terpisah darinya, terjadi
suatu gerakan dan sama ( seimbang) dengan benda tersebut. Sebab tidak mungkin
terdapat dua benda dalam satu tempat dan dalam masa yang satu pula. Tempat itu
bukan benda (mamer = hule = materi ) bukan pula surah ( form), karena
kedua-duanya hanya berada pada suatu yang terdapat dalam tempat.
Kemudian dalam
soal kekosongan, ibnu sina tidak membenarkan adanya kekosongan, sebagaimana ia
mengingkari adanya keterbatasan ( kadar) yang tak terhingga, atau adanya
bilangan yang tidak berakhir ataupun gerak yang tidak berpangkal.
c.Ilmu Jiwa
Pembahasan Ibnu Sina tentang masalah jiwa, tidak keluar dari aliran
filsafatnya secara global, meski dalam dalam usaha yang berkaitan dengan
menghimpun, menyusun, mengompromikan atau menyeleksi. Dalam melakukan
perpaduan, ia mempunyai tujuan tertentu yang ia miliki, tetapi ia juga
mempunyai metode tersendiri di dalam melakukan perpaduan itu. Sehingga ia tetap
memiliki karakteristik yang membedakan antara dirinya dengan para ahli lainya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
1.Al Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
Abu Hamid Al-Ghazali. Beliau di lahirkan di Thush. Diantara karya beliau adalah: ilmu kalam(theology Islam),
fiqh(hukum islam), tasawuf, akhlak, dan autobiografi. Dan hasil filsof beliau
adalah Tasawuf, Filsafat Metafisika, Etika,dan Konsep iman dan kufur.
2.Ibnu Sina
1.Biografi Ibnu Sina
Abu Ali al- Husayn bin Abdullah bin Sina (980-1037) atau yang
secara umum di kenal dengan nama Ibnu Sina. Beliau lebih dikenal sebagai
filosof ilmu kedokteran. Diantara karya beliau adalah As-Syifa, An- Najat, Al-
Syarat Wat- Tanbihat, Al- Hikmat Al- Masyriqiyyah, Al Qanun, atau Canon of
Medicine. filsafatnya Ibnu Sina ada beberapa pemikiran yaitu: Tentang wujud,
Teori Fisika, Ilmu Jiwa, dan yang lainya.
B. SARAN
Filsafat Islam ini juga begitu rumit dalam mempelajarinya. Karena
ilmu filsafat itu suatu pemikiran seorang filosof. Semoga dengan adanya makalah
ini, seorang pembaca bisa:
1.Mengetahui tokoh-tokoh filsafat islam dengan mempelajari
biografi, karya, dan pemikiran filsafatnya.
2.Seorang pembaca bisa berfikir, sangatlah besar tokoh filsafat
kita. Semoga kita dapat menirunya walaupun tidak sempurna seperti tokoh-tokoh
di atas.
DAFTAR PUSTAKA
http://tanbihun.com/tasawwuf/filsafat/perkembangan-filsafat-pasca-al-ghazali[25-02-2012]
Musthofa, Filsafat Islam,
Pusttaka Setia, Bandung, 1997.
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh
Filsuf Muslim, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2004.
[1]
Musthofa, Filsafat
Islam, CV.PUSTAKA SETIA, Bandung, 1997, hlm.214-216.
[2]
Ibid, hlm.219-221.
[3]
Ibid, hlm.224.
[4]
Ibid, hlm.227.
[5]
Ibid, hlm.228.
[6]
Ibid, hlm.240.
[7]
Ibid, hlm.242.
[8]
Ahmad Zainul
Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim, Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2004,
hlm.89-90.
[9]
Musthofa, Filsafat
Islam, Pusttaka Setia, Bandung, 1997, hlm.188-189.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar