Selamat Datang di blog johnrizka ☞

Minggu, 04 Maret 2012

BIOGRAFI,KARYA,FILSAFAT MULLA SADRA


BIOGRAFI,KARYA,FILSAFAT MULLA SADRA
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Efa Ida Amaliyah,MA.


oleh :
Hasan Basri         : 111369
Uzlifatil Jannah     : 111376
Suprapto             : 111378
Rizka Afif AM     : 111384


SEKOLAH  TINGGI  AGAMA ISLAM  NEGERI  KUDUS
JURUSAN TARBIYAH/PAI
2012









BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Di awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan sistimatika pembahasan konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat Islam. Sebelum abad kesebelas terdapat empat aliran filsafat yang bersifat mandiri, terpisah satu sama lain dan masing-masing berpijak pada teori dan gagasannya sendiri-sendiri. Tapi di awal abad ke sebelas empat aliran tersebut berhasil dipadukan dan disatukan oleh Mulla Shadra sehingga melahirkan satu aliran dan sistem filsafat baru yang dia sebut al-Hikmah al-Muta’aliyah.
Aliran filsafat baru ini, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-kaidah filsafat terdahulu, juga dapat menjembatani antara pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama.
B. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana biografi dari Mulla Sadra?
  2. Apa karya Mulla Sadra?
  3. Bagaimana filsafat Mulla Sandra?





BAB II
PEMBAHASAN

A.     Biografi Mulla Shadra (1571-1640 M.)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, yang bergelar ‘Shadr al-Din’ dan lebih popular dengan sebutan Mulla Shadra atau Shard al-Muta’alihin, dan dikalangan murid-murid serta pengikutnya disebut ‘Akhund’. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar tahun 979-80 H/ 1571-72 M dalam sebuah keluarga yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga Qawam. Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy salah seorang yang berilmu dan saleh, dan dikatakan pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi Fars. Secara sosial-politik, ia memiliki kekuasaan yang istimewa di kota asalnya, Syiraz.[1]
Pendidikan formal Mulla Shadra tampaknya telah mempersiapkan dirinya untuk mengemban tugas yang maha besar ini. Mengikuti penjelasannya sendiri dalam Al-Asfhar Al-Arba’ah, para sejarawan membagi biografi Mulla Shadra ke dalam tiga periode: Periode pertama, pendidikan formalnya berlangsung di bawah guru-guru terbaik pada zamannya. Tidak sama seperti filosof lainnya, dia menerima pendidikan dari tradisi Syiah: fiqih Ja’fari, ilmu hadis, tafsir dan syarah Al-Qur’an di bawah bimbingan Baha‘uddin al-‘amali (w. 1031 H/1622 M), yang meletakkan dasar fiqih-baru Syi’ah. Selanjutnya ia belajar pada filosof peripatetik Mir Fenderski (w. 1050 H/1641 M) namun gurunya yang utama adalah teolog-filosof, Muhammad yang dikenal sebagai Mir Damad (1041 H/1631 M). Damad nampaknya merupakan pemikir papan atas yang mempunyai orisinilitas dan juga dijuluki Sang Guru Ketiga (setelah Aristotles dan Al-Farabi)[2] . Tampaknya, ketika Mulla Shadra ini muncul, filsafat yang ada, dan yang umumnya diajarkan, adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn Sina dan para pengikutnya. Pada abad ke 6 H/ke 12 M, Suhrawardi telah melakukan kritik terhadap beberapa ajaran dasar parepatetisme. Ialah yang meletakkan dasar-dasar bagai filsafat Illuminasionis yang bersifat mistis (Hikmat al-Isyraq).
Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, Mulla Shadra terpaksa meninggalkan Isfahan, karena kritik sengit terhadap pandangan-pandangannya dari Syi’ah dogmatis. Dalam pereode kedua, dia menarik diri dari khalayak dan melakukan uzlah di sebuah desa kecil dekat Qum. Selama pereode ini,  pengetahuan yang diperolehnya mengalami kristalisasi yang semakin utuh, serta menemukan tempat dalam mengasah kreativitasnya. Beberapa bagian dari Al-Asfar al-Arba’ah disusunnya pada pereode ini. Dalam pereode ketiga, dia kembali mengajar di Syiraz, dan menolak tawaran untuk mengajar dan menduduki jabatan di Isfahan. Semua karya pentingnya dia hasilkan dalam pereode ini. Dia tidak berhenti untuk menghidupkan semangat kontemplatifnya dan juga melakukan praktek asketis -sebagaimana disebutkan dalam karyanya- sehingga beberapa argument filosofisnya dia peroleh melalui pengalaman-pengalaman visionernya (mukasyafah)[3]
Dengan demikian, sistem pemikiran Mulla Shadra yang khas tumbuh, yang kelihatannya benar-benar berbeda dari situasi intelektual dan spiritual pada masanya. Kesalehannya terhadap agama dapat ditunjukkan antara lain oleh kenyataan bahwa ia dikatakan meninggal di Basrah pada 1050 H/1641 M saat pulang menunaikan ibadah haji yang ketujuh kalinya[4]

B. Karya Mulla Sadra
Mulla Shadra menulis sekitar 50 buku, 32 diantaranya berbentuk risalah. Yang terbesar sekaligus merupakan magnum opus-nya adalah al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asrar al-Aqliyah al-Arba’ah (Hikmah Agung tentang Empat Perjalanan Akal). Karya ini pertama kali terbit tahun 1873 M. terdiri dari 4 jilid besar. Bagian I membahas tentang soal ontologi, baian II menguraikan substansi dan aksidensi, bagian III menjelaskan tentang Tuhan dan sifat-sifatnya, bagian IV menguraikan manusia dan nasibnya. Karya yang lain diantaranya, al-Hikmah al-Arsyiyah (tentang Tuhan dan eskatologi), Risalah fi ittihad al-aqil wa al-Ma’qul (soal epistemologi), Ta’liqat ala Syarh Hikmah al-Isyraq (komentar terhadap filsafat iluminatif), Ta’liqat ala Ilahiyyat Kitab al-Syifa’I (komentar terhadap kitab Asyifa’ Ibnu Sina),  Risalah al-Mazaj (tentang psikologi), Mafatih al-Ghaib (tentang doktrin gnostik)[5]
C. Filsafat Mulla Sadra
1.      Kehakikian Eksistensi (al-ashâlah al-wujud)
Sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah yang sama, memunculkan prestasi lain yang juga bersifat fundamental seperti prestasi sebelumnya. Seperti unculnya satu jenis filsafat Eksistensialime Islam, yang secara resmi di sebut dengan ashalat al- wujud. Pendiri mazhab filsafat ini adalah Shadr al- Dien Syirazi (Mulla Sadra) yang menyebut metodologi pemikirannya metafilsafat (al- Hikmat al-Muta’aliyah)[6]
Maksud (al-ashâlah al-wujud) dalam filsafat Mulla Shadra adalah bahwa setiap wujud kontingen (mumkin al-wujud) terjadi atas dua modus (pola perwujudan): eksistensi dan kuiditas (esensi). Dari kedua modus itu, yang benar-benar hakiki (real) secara mendasar adalah eksistensi, sedangkan kuaditas (esensi ) tidak lebih dari “penampakan” (apperiance) belaka[7]
Para filosof muslim sebelum Mulla Shadra telah membahas persoalan ini. Menurut Ibnu Sina, eksistensi mendahului esensi . Eksistensi bersifat primer dan merupakan satu-satunya hakikat atau realitas yang dimiliki Tuhan, sedangkan esensi  dan sifat-sifatnya bersifat skunder. Namun bagi Ibnu Sina, eksistensi dan esensi  ini, keduanya merupakan sama-sama realitas yang nyata. Sejalan dengan itu, menurut Ibnu Arabi, eksistensi mendahului esensi . Eksistensi adalah realitas yang sesungguhnya dan realitas itu hanya satu yaitu Tuhan. Sedangkan esensi  tidak lain adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuannya[8]
Sebaliknya, menurut Suhrawardi esensi  lebih fundamental dari esistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam pikiran manusia. Yang merupakan realitas yang sesungguhnya adalah esensi  yang bagi Suhrawardi tidak lain dari pada bentuk-bentuk cahaya dari maha cahaya, Tuhan. Cahaya itu hanya satu sedangkan benda-benda yang beranekaragam adalah gardasi intensitasnya atau kebenderangannya.
Mulla Shadra pada mulanya, mengikuti pendapat Suhrawardi diatas, tetapi kemudian membalik ajaran tersebut dengan mengambil pandangan Ibnu Arabi tentang prioritas eksistensi terhadap esensi, namun menolak Ibnu Arabi tetang wahdat al-wujud, ketunggalan wujud. Bagi Sadra benda-benda disekitar kita, semesta ini, bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun, eksistensi yang merupakan realitas tersebut tidak pernah bisa ditangkap oleh rasio, karena rasio hanya mampun menangkap esensi  atau gagasan umum. Karena itu, ada perbedaan mendasar antara esensi  dengan eksistensi. Bagi Shadra, eksistensi dalah realitas objektif di luar pikiran, sedang esensi  adalah gambaran umum tentang realitas atau benda yang ada dalam pikiran. Namun demikian, gambaran umum tersebut juga tidak bisa dianggap sebagai cerminan hakikat wujud, karena transformasinya ke dalam konsep mental yang abstrak pasti mengandung kesalahan[9]
Dalam kaitan ini perlu dikemukakan bahwa di dalam pengalamannya terhadap wujud, Mulla Shadra telah mempersatukan secara sempurna kedua aspek kehidupan spiritual yaitu pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung. Bagi mereka yang sudah terpadu dalam dirinya antara pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung, seperti halya Mulla Sadra, bisa merasakan bahwa sesungguhnya kenikmatan dan kebahagiaan yang bersifat spiritual pada dasarnya adalah juga kenikmatan dan kebahagiaan intelektual. Dengan kata lain, bisa dinyatakan bahwa sesungguhnya kebenaran yang diperoleh melalui pengelaman mistis adalah kebenaran yang bersifat intelektual, dan pengalaman mistis sebenarnya adalah pengalaman yang bersifat kognitif. Pengelaman yang bersifat intuitif sama sekali tidak bertentagan dengan penalaran, bahkan ia dipandang sebagai bentuk penalaran yang lebih tinggi, lebih positif dan konstruktif, dibandingkan dengan penalaran formal[10]
Ringkasnya, kebahagiaan spiritual dan intelektual akan bisa dirasakan atau dialami secara sekaligus jika seseorang mampu memberikan pembuktian-pembuktian yang bersifat rasional terhadap pengalaman-pengalaman spiritual dan mistisnya. Semakin luas argumen-argumen rasional yang diberikan, maka kualitas spiritualpun akan semakin tinggi. Sebab apa yang diakui sebagai pengalaman spiritual, sesungguhnya akan menjadi semakin tinggi kualitasnya jika intelek mengetahui secara persis mengenai seluk-beluk semacam itu. Semua itu hanya bisa dialami melalui keseluruhan diri manusia secara utuh, dan hanya manusia seutuhnya yang bisa mengalaminya, yaitu ketika pikiran telah terintegrasi ke dalam keseluruhan diri manusia, yang terpusat pada kalbu[11]

2.      Gradasi Wujud (tasykik al-wujud)           
Mulla Shadra berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun demikian Shadra tidak menyimpulkan sebagai wahdat al-wujud, tetapi mengajukan tasykik al-wujud sebagai solusinya, yakni eksistensi itu mempunyai gradasi yang kontinu. Jelasnya, menurut Sadra, dari ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tidak terhingga. Dengan kata lain, realitas ini terbentang dari kutub Tiada Mutlak sampai kutub Ada Mutlak dengan perbedaan tingkat kualitas dan intensitasya. Inilah pandangan kesatuan realitas versi Mulla Shadrayang disebut “Hikmah al-Muta’aliyah”. Menurut Arhamedi Mazhar, pandangan ini merupakan sintesa besar antara teologi, filsafat dan mistik[12]
Dalam perspektif al-Hikmah al-Muta’aliyah, wujud merupakan suatu realitas tunggal yang dalam ketunggalannya memiliki tingkatan dan bergradasi. Gagasan ini berlawanan dengan filsafat peripatetik yang beranggapan bahwa wujud-wujud di alam secara esensial berbeda satu dengan lainnya dan tidak memiliki unsur kesamaan. Yang ada di alam adalah kejamakan maujud bukan kesatuan wujud. Perspektif ini berbeda dengan konsep para sufi dan arif tentang kesatuan wujud yang individual (wahdah al-syakhsh al-wujud). Mereka menolak secara mutlak ide kejamakan wujud.
Gradasi wujud dalam filsafat Mulla Shadra ditopang oleh dua unsur, yakni kesatuan wujud dan kejamakan wujud. Sementara gradasi cahaya dalam filsafat Suhrawardi hanya ditopang oleh satu unsur, yakni kejamakan cahaya. Cahaya tidaklah tunggal, melainkan jamak dan bergradasi. Gradasi cahaya bersifat vertikal sebagaimana dalam gradasi wujud.

3.       Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah)
Teori Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah), adalah sumbangan orsinil Mulla Shadraterhadap filsafat Islam. ajaran ini merupakan uraian lebih lanjut dari pandangan Sadra bahwa gradasi wujud tidak bersifat statis tetapi dinamis, bergerak dari eksistensi tingkat rendah menuju eksistensi tingakat tinggi. Mulla Shadramemperlihatkan bahwa berdasarkan prinsip-prinsip Aristotalion tentang materi dan bentuk, harus diterima bahwa substansi alam semesta senantiasa bergerak, tidak pernah terdapat kekonstan sesaat dan keseragaman bentuk dalam substansi alam. Aksiden-aksiden (yaitu sembilan kategori yang lain), sebagai fungsi dan substansi, juga berada dalam gerak. Menurut Mulla Shadra, alam sama dengan gerak, dan gerak sama dengan penciptaan dan pemusnahan yang tidak henti-henti dan berjalan terus menerus[13]
Kontribusi Mulla Shadra dalam gerakan substansial (al-Harakah al- Jawhariyah) melengkapi para filosof sebelumnya, diman mereka berepndapat bahwa gerakan hanya terjadi pada empat kategori aksiden; kuantitas (kammiyat), kualitas (kaifiyyat), posisis (wadh’) dan tempat (‘ayn). Dengan kata lain, substansi tidak berubah tetapi hanya empat kategori akseden yang berubah. Karena kalau substansi berubah kita tidak dapat menetapkan judgment tentangnya. Begitu kita mengeluarkan judgment, ia sudah berubah menjadi yang lain[14]
Mulla Shadraberpendapat bahwa disamping perubahan pada empat kategori aksiden, gerak juga terjadi pada substansi. Kita melihat bahwa dalam dunia eksternal perubahan benda material dan keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Buah apel kembali dari hijau tua ke hijau muda, kemudian kuning, lalu merah. Ukuran rasa, berat juga selalu mengalami perubahan. Karena eksistensi aksiden bergantung pada eksistensi substansi, maka perubahan aksiden akan menyebabkan perubahan pada substansi juga. Semua benda material bergerak. Gerakan ini berasal dari penggerak pertama yang immaterial, menuju penyempurnaan yang non-material dan berkembang menjadi sesuatu non-material. Dalam hubungna inilah Mulla Shadra mempertahankan sifat huduts dari dunia fisik, sifat tidak permanen dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi materi keempat; sebagai suaut ukuran kuantitas gerak. Sebab mendasar yang menjadikan akseden dalam bergerak adalah nilai hudutsnya wujud dan waktu yang menjadikannya sebagai tempat kebaruannya[15]












BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Di dalam bangunan Filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah Shadra, tergambar jelas Mulla Shadrā melakukan harmonisasi semua elemen filsafat sebelumnya sehingga membentuk warna baru yang masing-masing kesatuan saling terkait dan mendukung satu sama lain. Kita kemudian dapat menemukan posisi filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah yang jelas-jelas memunculkan sebuah warna baru diantara aliran filsafat yang ada.
Karakteristik al-hikmah al-muta’aliyah yang bersifat sintesis merupakan hasil kombinasi dan harmonisasi dari ajaran-ajaran wahyu, ucapan-ucapan para Imam, kebenaran-kebenaran yang diperoleh melalui penghayatan spiritual dan iluminasi intelektual, serta tuntutan-tuntutan logika dan pembuktian rasional. Sintesis dan harmonisasi ini bertujuan untuk memadukan pengetahuan yang diperoleh melalui sarana Sufisme atau ’irfan, Iluminasionisme atau isyraqiyyah, filsafat rasional atau yang identik dengan Peripatetik atau masysya’iyyah, dan ilmu-ilmu keagamaan dalam arti sempit, termasuk kalam. Dengan demikian, kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari, dan harus dilihat dalam konteks aliran-aliran pemikiran Islam yang mendahuluinya.
Secara epistemologis, hikmah muta’aliyah didasarkan pada tiga prinsip, yaitu: iluminasi intelektual ( dzawq atau isyraq ), pembuktian rasional ( ‘aql atau istidlal ), dan agama ( syari’ atau wahyu ). Hikmah Muta’aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen rasional (akal), penyingkapan (mukasyafah), al-Quran dan hadis Ahlulbait As, karenanya dikatakan paling tingginya hikmah.
DAFTAR PUSTAKA

Nur, Syaifan. 2001. Filsafat Wujud Mulla Shadra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muntahari, Murtdha. 2002. Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Sadra, Bandung: Mizan.
Sholeh, A. Khodhori. 2004. Wacana Baru Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ha’iri yazdi, Mehdi 1994. Ilmu Hudluri, prinsip-prinsip Epistimologi dalam Filasafat Islam, terj. Ahsin Muhammad Bandung : Mizan.
Nashr, Husain. 1986. Tiga Pemikir Islam, Bandung: Risalah.
Rahman, Fazlur. 2000. Filsafat Shadra, terj. Munir Muin, Bandung: Pustaka
Riadi, Haris Hikmah al-Israqiyah: Mentelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi Transenden Mulla Sadra., (www.uinsuska.com. Diakses pada tanggal 4 Juni 2010)
Husein Afandi al-Jasr al-Thaablusy, al-Husun al-Hamidiyah, li al-Muhafadzah ‘ala al-Aqaid al-Islamiyah,(ed) Ridlwan Muhammad Ridlwan, Surabaya : Sa’id Ibn Nabhan Wa Auladuh, t.tj


[1] Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Shadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 41-42
[2] Murtdha Muntahari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Sadra, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 14
[3] Murtdha Muntahari, Filsafat Hikmah: Pengantar…, hlm. 14
[4] A. Khodhori Sholeh, Wacana Baru Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 158
[5] Ibid, hlm. 159.
[6] Mehdi ha’iri yazdi, Ilmu Hudluri, prinsip-prinsip Epistimologi dalam Filasafat Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 51
[7] Murtdha Muntahari, Filsafat Hikmah: Pengantar…, hlm. 80
[8] Husain Nashr, Tiga Pemikir Islam, (Bandung: Risalah, 1986), hlm. 22-25
[9] Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, terj. Munir Muin, (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 3
[10] Syaifan Nur, Filsafat…, hlm. 181-182
[11] Ibid, hlm. 182
[12] A. Khodhori Sholeh, Wacana…., hlm. 16
[13] Haris Riadi, Hikmah al-Israqiyah: Mentelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi Transenden Mulla Sadra., (www.uinsuska.com. Diakses pada tanggal 4 Juni 2010)
[14] Haris Riadi, Hikmah al-Israqiyah: Mentelaah..,
[15] Husein Afandi al-Jasr al-Thaablusy, al-Husun al-Hamidiyah, li al-Muhafadzah ‘ala al-Aqaid al-Islamiyah,(ed) Ridlwan Muhammad Ridlwan (Surabaya : Sa’id Ibn Nabhan Wa Auladuh, t.tj), hlm.63.


2 komentar: